AL-QUR’AN SEBAGAI KALAMULLAH

Oleh:

Joko purwanto

Choirul Amin

Dewi Maulidinnafi’ah

Kartika Sari

Wildana Aminah

Ernaka Heri P

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang diturunkan kepada umat manusia sebagai pedoman dan petunjuk hidup. Siapa saja yang dalam hidupnya berpegang teguh padanya hidupnya akan menjadi tentram dan bermakna. Di dalamnya mencangkup nasehat, hukum, dan tuntunan serta berbagai kisah sebagai pelajaran bagi manusia agar berhati-hati dalam menjalani hidup. Semua ini tidak lain agar manusia selamat dunia-akhirat.

Al-Qur’an sebagai kalamullah adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Setiap hari kita mempelajarinya, tapi kita tidak tahu apa definisinya. Bahkan kita tak tahu bukti bahwa Al-Qur’an sebagai kalamullah dan bagaimana bukti historisnya. Jika kita buta akan kitab sendiri, bagaimana kita bisa mempertahankan kebenaran Al-Qur’an jika kita diserang oleh umat lain yang tidak suka terhadap Islam.

Maka dari itu kami akan mencoba menjelaskan definisi Al-Qur’an, bukti Qur’an sebagai kalamullah dan bukti historisnya. Sehingga harapan kami kedepan kita semua tahu dan mengerti dan kita bisa mempertahankan keauntetikan Al-Qur’an.

  1. RUMUSAN MASALAH
  2. Apa definisi Al-Qur’an itu?
  3. Apa bukti bahwa Al-Qur’an sebagai kalamullah?
  4. Apa bukti historisnya?
  1. TUJUAN
  2. Mengetahui definisi Al-Qur’an
  3. Mengetahui bukti bahwa Al-Qur’an sebgai kalamullah
  4. Mengetahui bukti historis Al-Qur’an sebagai kalamullah

BAB II

PEMBAHASAN

  1. DEFINISI AL-QUR’AN

Pendefinisian Al-Qur’an sebagaimana yang telah diketahui bersama memiliki banyak pendefinisian, tetapi dengan banyaknya definisi itu akan menjadikan semakin lengkapnya pemahaman Al-Qur’an sendiri ditinjau dari segi pendefinisiannya. Berikutnya akan ditulis definisi-definisi Al-Qur’an yang kesemuanya itu saling melengkapi.

Secara Bahasa (Etimologi) Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro’a yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna, Jamak (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro’a, Qor’an, Wa Qur’anan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro, Ghafran, Wa Qhufroonan. Berdasarkan makna pertama (Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’ul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Jamak) maka ia adalah mashdar dari Ism Fa’il, artinya Jaami (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.

Secara Syariat (Terminologi) Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Allah ta’ala berfirman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. (al-Insaan: 23). Dan firman-Nya, Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf: 2) Allah ta’ala telah menjaga Al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (al-Hijr: 9)

Al-Qur’an sebagai mukjizat pertama memiliki pengertian,

القران هو معجزاة االر سول انز له الله سبحا نه و تعا لى عليه منجما (مفرقا) حسب الحوادث والحكمة من ذلك تثبيت قلب الر سول و قلوب المسلمين و ليكون حفظه سهلا عليهم[1]

Inti dari pengertian Qur’an diatas yakni bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur. Hikmah dari proses itu tidak lain supaya mudah dihafalkan oleh umat Islam masa dulu dan tetap terjaga pada zaman berikutnya.

القران هو كلام الله المنزل على نبيه المرسل سيدنا محمد صلى الله عليه و سلم بلفظه

و معناه المتعبد بتلا و ته و المنقول الين نقلا متواترا المكتوب في المصا حف من

اول الفا تحه الى اخر الناس[2]

Maksud dari definisi diatas adalah bahwa Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan mutawattir sehingga sampai kepada kita, yang diawali surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat An-nas. Yang kesemuanya itu ditulis dalam mushaf-mushaf.

القران هو كلا م الله الملزل على محمد صلى الله عليه و سلم بلسان عربي مبين تبيانا

لما به صلاح الناس في دنيا هم و اخراهم

Maksudnya adalah bahwa Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan bahasa Arab demi kemaslahatan menusia di dunia dan di akhirat.

Definisi lain Al-Qur’an yakni,

القران هو كلا م الله و ان كلا م الله غير كلا م بشر ما في ذ لك ر يب[3]

Artinya adalah Al-Qur’an firman Allah, dan sesungguhnya firman Allah bukan perkataan manusia, dan semua itu tidak diragukan lagi. Maksudnya, bahwa Al-Qur’an sebagai firman Allah yang itu dapat dibuktikan dari proses turunnya Al-Qur’an sampai pemeliharaan Al-Qur’an itu sendiri. Sehingga tidak diragukan lagi oleh umat Islam pada khususnya bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan perkataan makhluq, sebab dari segi bahasa saja Al-Qur’an sudah tidak ada yang mampu menandingi baik pada masa rasul sampai sekarang.

Al-Qur’an dalam buku Studi Ilmu Al-Qur’an yang dikarang oleh Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy adalah kalamullah yang tiada tandingannya(mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para nabi dan Rasul dengan perantaraan malaikat JIbril alaihi salam, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nass, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh banyak orang), serta yang mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[4]

Definisi ini menurut beliau telah disepakati para Ulama dan Ahli Ushul. Dalam kitab yang sama beliau juga mengungkapkan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Syakhshiyyah Islamiyyah jilid I, menyebutkan bahwa Al Quran adalah lafazh yang diturunkan kepada Muhammad SAW bersama makna yang ditunjukkannya.

Karena itu beliau menyatakan bahwa makna saja tidak dapat dikatakan sebagai Al Qur’an. Demikian pula lafazh tanpa makna, sebab lafazh yang dibuat dan disusun tiada lain adalah untuk mengungkapkan makna tertentu. Lafazh Al Qur’an adalah lafazh bahasa Arab yang gaya pengungkapannya sangat indah, fasih dan baligh. Tiada satu kalimat pun yang susunannya menyimpang dari kaidah bahasa Arab.

Bahkan kepastian bahwa Al Qur’an berbahasa Arab telah dijelaskan oleh Allah SWT sendiri melalui firmanNya dalam QS Yusuf: 2 “Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

  1. BUKTIAL-QUR’AN SEBAGAI KALAM ALLAH SWT.

Allah S.W.T. menjamin kemurnian Al-Qur’an dan menjamin pula bahwa Al-Qur’an tetap terpelihara. Sebagaimana dalam firman-Nya:

$¯RÎ)ß`øtwU$uZø9¨“tRtø.Ïe%!$#$¯RÎ)ur¼çms9tbqÝàÏÿ»ptm:ÇÒÈ

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr 9).

Al Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang paling tinggi, paling besar dan paling ampuh untuk menaklukkan orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau. Sekalipun Nabi Muhammad memiliki banyak mukjizat, akan tetapi beliau tidak menggunakan mukjizat-mukjizat yang lain sebagai tantangan terhadap orang-orang yang mengingkari kenabian beliau.

Oleh karena itu kemukjizatan Al Qur’an merupakan bukti kenabian Muhammad SAW, semenjak turunnya Al Qur’an sampai Hari Kiamat nanti. Sebab mukjizat Al Qur’an adalah mukjizat yang dapat diindera dan dibuktikan oleh seluruh manusia di setiap masa sampai Hari Kiamat. Hal ini memang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya : “Setiap nabi pasti diberi sesuatu (mukjizat) yang serupa dengannya, manusia akan meyakininya, tetapi yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diturunkan Allah kepadaku. Maka aku berharap menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya. (HR Bukhari)

Imam Jalaluddin As-Suyuthi memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut sebagai berikut: “Mukjizat para Nabi telah hilang dengan berlalunya masa mereka, tidak dapat disaksikan kecuali oleh orang-orang yang semasa dengannya.”

Dalam pada itu mukjizat Al Qur’an senantiasa ada sampai Hari Kiamat. Kemukjizatan Al Qur’an terletak pada gaya pengungkapan (uslub) yang digunakan untuk mengungkapkan makna-makna. Gaya pengungkapan Al Qur’an tersebut tampak dalam kefasihan (fashahah), keindahan (balaghah) dan ketinggian taraf pemikiran yang diungkapkan sampai ke derajat yang mengagumkan. Gaya pengungkapan yang merupakan segi kemukjizatan itu tampak jelas dalam tiga aspek:

Pertama, lafazh-lafazh dan susunan kata (tarkiib) yang digunakan. Al Qur’an telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata yang amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut. Makna yang kasar diungkapkan dengan lafazh yang kasar dan seterusnya. Intinya, pemilihan lafazh disesuaikan dengan makna yang akan diungkapkan sehingga mudah dipahami secara mendalam oleh pendengarnya. Misalnya ayat yang mengungkapkan surga dilafazhkan dengan lembut dengan gaya pengungkapan yang manis sehingga membuat orang sangat merindukannya. Sebaliknya bila mengungkapkan neraka, maka lafazh yang digunakan adalah lafazh yang kasar sehingga membuat pendengarnya merinding karena sangat takutnya, dan membuat orang begitu membencinya serta terdorong kuat untuk menjauhinya.

Kedua, irama kata yang digunakan. Susunan huruf dan kata-kata dalam Al Qur’an tersusun dalam irama yang khas dan unik, yang tidak pernah dijumpai dalam percakapan manusia, baik dalam syair maupun prosa. Ketiga, lafazh dan susunan kata yang digunakan mencakup makna yang luas dan menyeluruh. Al Qur’an telah menggunakan lafazh yang ringkas untuk makna yang luas dan mendalam.

Misalnya firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah : 179. Penggalan dari ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit, namun bila diuraikan akan tergambar makna yang luas. Makna ayat tersebut adalah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau ia membunuh, akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya dari pembunuhan. Jadi, dengan qishash, kejahatan pembunuhan tersebut akan lenyap di masyarakat. Dengan tiadanya pembunuhan, berarti akan terjamin keberlangsungan kehidupan kehidupan manusia di tengah masyarakat. Tujuan dari mukjizat pada hakikatnya adalah untuk meyakinkan manusia bahwa orang yang membawa mukjizat adalah benar-benar seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah benar-benar berasal dari sisi Allah SWT.

Oleh karena itu, kemukjizatan Al Qur’an merupakan bukti nyata dan meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar seorang Nabi dan rasul, sekaligus membuktikan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang mutlak kebenarannya. Keimanan terhadap Al Qur?an memiliki konsekuensi yang lebih jauh lagi, yakni menerapkan dan mengamalkan Al Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam salah satu ayat Al Qur’an bahwa seseorang baru dikatakan beriman bila ia menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai hakim (pemutus perkara) dalam perkara yang diperselisihkan (lihat An Nisaa: 65). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al Hasyr: 7). Ayat ketujuh surat Al Hasyr di atas mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil dan mengamalkan apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW, baik Al Qur’an itu sendiri maupun As Sunnah. Sebab kata maa (apa saja) dalam ayat itu bersifat umum, mencakup Al Qur’an dan As Sunnah.

Kedua ayat di atas termasuk di antara dalil syar’i yang mewajibkan kaum muslimin untuk menerapkan dan mengamalkan syariat Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Kewajiban ini mencakup keseluruhan syariat Islam, tidak sebagian-sebagian, sebagaimana firman-Nya dalam QS Al Baqarah: 208. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan.” Berdasarkan hal ini, kaum muslimin harus memiliki sikap yang benar terhadap Al Qur’an. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa mereka harus pula mampu memahami cara yang benar dalam menafsirkan kalamullah ini. Cara yang benar dalam menafsirkan ini harus berlaku sepanjang jaman. Mukjizat Al Qur’an dari sisi bahasa adalah hal yang berlaku sepanjang masa.[5]

Para nabi atau rasul terdahulu memiliki mukjizat-mukjizat yang bersifat temporal, lokal, dan material. Ini disebabkan karena misi mereka terbatas pada daerah tertentu dan waktu tertentu. Berbeda dengan nabi Muhammad, beliau diutus untuk seluruh umat manusia (rahmah li al-‘alamin), dimana dan kapan pun hingga akhir zaman, sehingga misinya pun berlaku secara universal, kekal dan dapat difikirkan, dan dibuktikan kebenarannya oleh akal manusia dimana dan kapan pun[6]. Disinilah letak fungsi Al-Qur’an sebagai mukjizat nabi Muhammad SAW.

Al-Qur’an digunakan nabi untuk menentang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan tidak percaya akan risalah nabi SAW. dan ajaran yang dibawanya.

Terhadap orang-orang yang tidak percaya atau meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan sungguhpun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di bidang bahasa Arab, Rasulullah SAW meminta mereka untuk menandingi Al-Qur’an, yang tantangan ini di dalam Al-Qur’an dibagi dalam tiga tahapan.

Pertama kali, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan Al-Qur’an”, sebagaimana dipahami dari surah Ath-Thur (52):33-34

÷÷Pr&tbqä9qà)tƒ¼ã&s!§qs)s?4@t/žwtbqãZÏB÷sãƒÇÌÌÈ(#qè?ùu‹ù=sù;]ƒÏ‰pt¿2ÿ¾Ï&Î#÷WÏiBbÎ)(#qçR%x.šúüÏ%ω»|¹ÇÌÍÈ

  Artinya: “Ataukah mereka mengatakan: “Dia (Muhammad) membuat-buatnya”. Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.”

Selanjutnya, karena tantangan tersebut tidak dapat mereka layani, antara lain dengan dalih bahwa”kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan Al-Qur’an) maka untuk tahap kedua Allah meringankan tantangan itu dengan firman-Nya,

÷Pr&šcqä9qà)tƒçm1uŽtIøù$#(ö@è%(#qè?ùsùΎô³yèÎ/9‘uqߙ¾Ï&Î#÷VÏiB;M»tƒuŽtIøÿãB(#qãã÷Š$#urÇ`tBOçF÷èsÜtGó™$#`ÏiBÈbrߊ«!$#bÎ)óOçFZä.tûüÏ%ω»|¹ÇÊÌÈ

Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar“. (QS Hud 11:13)

Setelah tantangan kedua ini pun tak mampu mereka layani sedangkan mereka tetap berkeras untuk tidak mengakui kebenaran Al-Qur’an, maka untuk ketiga kalinya datang tantangan yang kali ini lebih ringan daripada tantangan-tantangan sebelumnya. Kali ini dalam firman Allah, Qs Yunus 10: 38

÷Pr&tbqä9qà)tƒçm1uŽtIøù$#(ö@è%(#qè?ùsù;ou‘qÝ¡Î/¾Ï&Î#÷VÏiB(#qãã÷Š$#urÇ`tBOçF÷èsÜtGó™$#`ÏiBÈbrߊ«!$#bÎ)÷LäêYä.tûüÏ%ω»|¹ ÇÌÑÈ

Artinya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.”

Sejarah menunjukkan bahwa tantangan itu pernah dibuktikan oleh pemimpin Quraisy dengan mengutus Abul Walid sebagai sastra ulung yang jarang tandingannya. Setelah Abul Walid berhadapan dengan rasul dan ketika itu beliau membaca surat Fushilat, maka  Abul Walid terguncang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur’an, dan ia kembali pada kaumnya dengan tangan hampa.

Pemahaman lain untuk menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an kalam Allah, maka ada 3 hal yang perlu diperhatikan guna mempermudah pemahaman bukti-bukti itu. Pertama, kepribadian Nabi Muhammad SAW. Kedua, kondisi masyarakat pada saat turunnya Al-Qur’an, dan ketiga, masa dan cara turunnya Al-Qur’an. Berikut ini akan dikemukakan sedikit rincian menyangkut ketiga hal tersebut.

  1. a.      Kepribadian Nabi Muhammad SAW.

Bahwa membuktikan kebenaran seorang nabi tidak harus melalui mukjizat yang dipaparkannya, tetapi juga dapat dibuktikan dengan mengenal kepribadian, kehidupan keseharian, akhlaq, dan budi pekertinya. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam sejarah bahwa kepribadian nabi pun sebelum diutus menjadi nabi telah menunjukkan sifat-sifat yang luhur dan agung, misalnya sejak kecil beliau telah mendapat gelar “al-amin” di masyarakat kafir Quraisy, yang gelar ini tentu saja tidak diberikan tanpa ada pengamatan yang teliti dari kehidupan sehari-hari Muhammad.

Dari satu bukti di atas saja sudah dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum ada wahyu saja Muhammad sudah memiliki sifat dasar kepercayaan sebagai utusan Allah kelak, dan kerendahan hati beliau pun telah terkenal di kalangan kafir Quraisy. Dan sifat beliau ini diabadikan di dalam qur’an S. Al-Ahqaf: 9

ö@è%$tBàMZä.%Yæô‰Î/z`ÏiBÈ@ߙ”9$#!$tBur“Í‘÷Šr&$tBã@yèøÿヒÎ1Ÿwurö/ä3Î/(÷bÎ)ßìÎ7¨?r&žwÎ)$tB#Óyrqュ’n<Î)!$tBurO$tRr&žwÎ)֍ƒÉ‹tR×ûüÎ7•B ÇÒÈ

Artinya: Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan“.

  1. b.      Kondisi Masyarakat saat Turunnya Al-Qur’an.

Al-Qur’an menamai masyarakat Arab sebagai masyarakat Ummiyyin. Penamaan ini disebabkan kemampuan tulis baca di kalangan masyarakat Arab khususnya pada awal masa Islam sangat minim, sampai-sampai ada riwayat yang menyebut jumlah mereka yang pandai menulis ketika itu tidak lebih dari belasan orang. Kelangkaan alat tulis-menulis dan ketidakmampuan menulis mengantarkan mereka untuk mengandalkan hafalan yang ini nanti berkaitan dengan pemeliharaan Qur’an. Walaupun demikian, ini bukan berarti bahwa masyarakat Arab yang dijumpai Al-Qur’an pertama kali sama sekali tidak mempunyai pengetahuan. Tidak. Mereka memiliki pengetahuan antara lain dalam bidang.

  1. Astronomi, tetapi ini terbatas pada penggunaan bintang untuk penunjuk jalan, atau mengetahui jenis musim.
  2. Meteorologi, yang mereka gunakan untuk mengetahui keadaan cuaca dan turunnya hujan.
  3. Sedikit tentang sejarah umat sekitarnya.
  4. Pengobatan berdasarkan pengalaman.
  5. Perdukunan dan semacamnya.
  6. Bahasa dan sastra.

Pengetahuan mereka dalam bidang-bidang tersebut selain bahasa dan sastra terbatas pada kelompok-kelompok kecil di antara mereka dan itu pun amat sederhana. Bahkan sering kali keliru sehingga tidak jarang Al-Qur’an turun meluruskan kekeliruan mereka atau memberi kepada mereka informasi baru kelak.

Dengan memahami kondisi masyarakat dan perkembangan pengetahuan pada masa turunnya Al-Qur’an akan menunjang bukti kebenaran Al-Qur’an saat disadari betapa kitab suci ini memaparkan hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal kecuali pada masa-masa terakhir ini.

  1. Masa Dan Cara Kehadiran Al-Qur’an

Hal ketiga yang tidak kurang pentingnya dalam upaya lebih meyakinkan tentang kemukjizatan Al-Qur’an adalah masa dan cara turunnya wahyu Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Baik untuk untuk diketahui bahwa tidak jarang Nabi Muhammad membutuhkan penjelasan bagi sesuatu yang sedang dihadapinya tetapi penjelasan yang dinantikan tak kunjung datang.

Setelah sepuluh kali menerima wahyu yang dimulai dengan awal surah (1) Iqra’, (2) Al-Qalam, (3) Al-Mudatsir, (4) Al-Muzzamil, (5) Al-Masad, (6) At-Takwir, (7) Sabbihisma, (8) Alam Nasyrah, (9) Al-‘Ashr dan (10) Al-Fajr, tiba-tiba wahyu terputus kehadirannya. Sekian lama  Nabi menanti dan mengharap kehadiran Jibril sang pembawa wahyu. Tetapi, wahyu tak kunjung datang dan ini membuat rasa gelisah di hati Nabi Muhammad, seakan-akan Tuhan telah meninggalkan dan membencinya. Namun kegelisahan itu baru berakhir setelah turunnya wahyu yang kesebelas yang menyatakan,

4ÓyՑÒ9$#urÇÊÈÈ@ø‹©9$#ur#sŒÎ)4ÓyÖy™ÇËÈ$tBy7t㨊ury7•/u‘$tBur4’n?s%ÇÌÈ

Artinya: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” (QS Adh-Dhuha 1-3).

Dengan ayat itulah Allah menafikan dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. telah ditinggalkan dan dibenci Tuhannya. Demikian terlihat bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri, walaupun keinginan Nabi SAW. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil perenungan atau bisikan jiwanya.

Adapun segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an sendiri setidak-tidaknya dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, keindahan, keserasian dan keseimbangan kata-katanya. Misalnya, kata Yaum yang berarti “hari”, dalam bentuk tunggalnya terulang sebanyak 365 kali (ini sama dengan satu tahun)[7], dalam bentuk jamak di ulangi sebanyak 30 kali (ini sama dengan satu bulan). Dan masih banyak lagi bukti-bukti lain yang mengandung kecocokan dengan realita yang ada.

Kedua, pemberitaan gaib yang diungkapkannya. Awal surah Al-Rum menegaskan kekalahan Romawi oleh Persia pada tahun 614.

ÏMt7Î=äñãPr”9$#ÇËÈþ’Îû’oT÷Šr&ÇÚö‘F{$#NèdurÆÏiBω÷èt/óOÎgÎ6n=yñšcqç7Î=øóu‹y™ÇÌȒÎûÆìôÒÎ/šúüÏZř3¬!ãøBF{$#`ÏBã@ö6s%.`ÏBur߉÷èt/47‹Í³tBöqtƒurßytøÿtƒšcqãZÏB÷sßJø9$#ÇÍÈΎóÇuZÎ/«!$#4çŽÝÇZtƒÆtBâä!$t±o„(uqèdurⓃ͓yèø9$#ÞOŠÏm§9$#ÇÎÈ

Artinya: “Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi, bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendakiNya. dan Dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.” (Al-Rum 2-5)[8].

Dan khabar itu ternyata benar, tepat pada saat kegembiraan kaum muslim memenagkan perang Badar pada 622, bangsa Romawi memperoleh kemenangan melawan Persia[9]. Pemberitaan yang terbukti lagi yaitu, tentang keselamatan badan Fir’aun yang ditenggelamkan Allah dilaut Merah 3.200 tahun yang silam, baru terbukti setelah muminya diketemukan oleh Louret di Wadi Al Muluk Thaba, Mesir, pada 1986 dan dibuka pembalutannya oleh Eliot Smith 8 Juli 1907, setelah di teliti maka di benarkan itu adalah mumi fir’aun yang ditenggelamkan pada masa Nabi Musa. Ini cocok dengan firman Allah dalam QS. Yunus 92 yang sebelumnya telah memberi kabar tentang itu.

tPöqu‹ø9$$sùy7ŠÉdfuZçRy7ÏRy‰t7Î/šcqä3tGÏ9ô`yJÏ9y7xÿù=yzZptƒ#uä4¨bÎ)ur#ZŽÏVx.z`ÏiBĨ$¨Z9$#ô`tã$uZÏG»tƒ#uäšcqè=Ïÿ»tós9ÇÒËÈy‰ôãur«!$#(Ÿwß#Î=øƒä†ª!$#¼çny‰ôãur£`Å3»s9uruŽsYò2r&Ĩ$¨Z9$#ŸwšcqßJn=ôètƒÇÏÈ

Artinya: “Maka pada hari Ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.”

Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya sungguh mengagumkan ilmuwan masa kini, apalagi yang menyampaikannya adalah seorang Ummi yang tidak pandai baca tulis serta hidup di lingkungan masyarakat terbelakang. Bukti kebenaran (Mukjizat) rasul-rasul Allah yang bersifat suprarasional. Hanya Nabi Muhammad saja yang datang membawa bukti rasional[10].

  1. ORISINILITAS AL-QUR’AN DITINJAU DARI BUKTI HITORIS.

Menurut M. Quraish shihab,[11] bahwa ada beberapa faktor yang mendukung pembuktian autentisitas Al-Qur’an dilihat dari aspek kesejarahannya, yaitu bahwa:

(1)         Masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak pandai baca tulis, sehingga satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.

(2)         Masyarakat Arab (khususnya pada masa turunnya Al-Qur’an) dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja, sehingga mereka memiliki waktu luang yang cukup guna menambah ketajaman pikiran dan hafalan mereka.

(3)         Masyarakat Arab sangat cenderung lagi membanggakan kesusastraan, mereka melakukan perlombaan di bidang ini pada waktu-waktu tertentu. Bahkan setelah Qur’an turun, orang kafir pun sangat kagum dengan keindahan ayat-ayat Qur’an, sehingga mereka mendengarkan ketika Qur’an dibacakan yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi.

(4)         Ayat-ayat Al-Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat Al-Qur’an turun sedikit demi sedikit, sehingga lebih mempermudah bagi mereka untuk mencerna maknanya dan menghafalnya.

(5)         Dalam Al-Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi, banyak ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita, terutama kalau berita itu merupakan firman Allah atau sabda rasul-Nya.

Adapun dilihat dari sejarahnya pengumpulan Al-Qur’an ada dua pengertian yang perlu dipahami, yaitu: Pertama, pengumpulan dalam arti hifdhuhu (menghafalnya dalam hati)[12]. Sehubungan dengan ini sewaktu turun wahyu (ayat Al-Qur’an), beliau menghafalnya dan memahaminya, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah dalam QS. Al-Qiyamah: 17,

¨bÎ)$uZøŠn=tã¼çmyè÷Hsd¼çmtR#uäöè%urÇÊÐÈ

Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”

Karena itu, beliau adalah hafidz Al-Qur’an pertama kali dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka pada pokok agama dan sumber risalah. Di dalam kitab sahih Bukhari disebutkan bahwa ada tujjuh hafidz, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin jabal, Ubay bin Kalab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu darda’. Penyebutan hafidz sebanyak tujuh orang ini bukan berarti menunjukkan bahwa hanya merekalah yang hafal Al-Qur’an, sebab dalam sejarahnya ternyata para sahabat ini berlomba menghafalkan Al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalnya dan mereka membacanya dalam sholat lail.

Penyebutan tujuh orang sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhari dalam riwayatnya itu mengandung arti, bahwa itulah yang hafal seluruh isi Al-Qur’an di luar kepala dan telah menunjukkan hafalaannya di hadapan Nabi Saw. Serta isnad-isnadnya kepada kita[13].

Kedua, pengumpulan Al-Qur’an dalam kitabatuhu kullihi (penulisan semuanya), baik dengan memisah-misah ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menerbitkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah bagian lain[14].

Sehubungan dengan itu, walaupun rasul dan para sahabatnya menghafal Al-Qur’an, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu tersebut, maka beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Beliau telah mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabatnya terkemuka, seperti: Ali, Mua’awiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit dll. Bila ayat turun, beliau memanggil dan memerintahkan mereka menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya, dan menunjukkan tempat dan urutan ayat tersebut dalam surat, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan dalam hati. Disamping itu, sebagian sahabatnya juga menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kehendaknya atau inisiatifnya sendiri, tanpa diperintah oleh nabi.[15]

  1. ANALISIS DAN KOMENTAR

Dari sekian pengertian Al-Qur’an yang telah disampaikan di lembar depan maka penulis mengambil kesimpulan bahwa, kesemuannya itu yakni perbedaan dalam mendefinisikan Al-Qur’an sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih melihat keadaan Al-Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, diriwayatkan kepada umat Islam secara mutawattir, membacanya sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mukjizat atau melemahkan lawan yang menentangnya.

Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya Al-Qur’an lewat malaikat Jibril. Penegasan tentang permulaan surat dari Al-Qur’an serta akhir suratnya, dan fungsinya di samping sebagai mukjizat atau hujjah kerasulannya, juga sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia dan petunjuk dalam beribadah.

Dan definisi ketiga melengkapi isi Al-Qur’an yang mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, fungsinya sebagai sumber yang mulia, dan penggalian esensinya hanya bisa dicapai oleh orang yang berjiwa suci dan cerdas.

Serta definisi ke empat yakni lebih menekankan bahwa Al-Qur’an satu-satunya kitab samawi yang mendapat jaminan dari Allah langsung yakni, akan tetap terpelihara kemurnian dan keasliannya. Hal ini memberikan perbedaan dengan kitab-kitab samawi lain yang tidak ada jaminan akan terpelihara keaslian dan kemurniannya, sehingga isinya telah terkotori oleh campur tangan dari keegoisan manusia baik pada zaman dahulu maupun zaman sesudahnya. Pada definisi keempat ini lebih ditekankan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang tidak akan dan tidak akan pernah berubah sepanjang sejarah manusia (mukjizatul khalidah).

Kemudian menanggapi masalah keorisinilan Al-Qur’an sendiri maka kami selaku penulis menegaskan bahwa, apabila dilihat dari kesejarahannya, pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penulisannya secara keseluruhan tidaklah mengurangi dari keorisinilan dan kemurnian Qur’an sendiri, dengan argumentasi dan analisa sebagai berikut:

Pertama, pada masa Nabi tiga unsur yang paling autentik untuk pengumpulan Al-Qur’an, yaitu hafalan dari para sahabat, kepingan naskah-naskah tulisan para sahabat yang diperintahkan sesuai dengan petuntuk Nabi, dan kepingan-kepingan naskah yang ditulis mereka sendiri. Selain itu, para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad. Baik dalam bentuk hafalan ataupun tulisan, untuk mengecek keaslian Al-Qur’an secara keseluruhan memang belum dikumpulkan dalam satu mushaf, karena pada saat itu sedang turun, sehinga bila wahyu turun lagi tentu akan membawa peribahan dalam mushaf itu.

Kedua, pada masa Abu bakar (setelah wafatnya rasul), pengumpulan/penulisan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf baru dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Abu bakar, dimana cara pengumpulan/penulisannya amat ketat, dalam arti tim harus tidak mau menerima satu naskah pun kecuali yang memenuhi dua syarat, yaitu harus sesuai dengan hafalan para sahabatnya lain, dan tulisan itu benar-benar yang ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi SAW. Hasil kerja tim tersebut kemudian disimpan Abu bakar r.a. dan setelah beliau wafat maka mushaf itu diserahkan kepada Umar bin khatab sebagai khalifah penganti Abu bakar. Dan setelah Umar wafat maka mushaf itu diserahkan kepada Hafsah binti Umar (anak Umar sekaligus istri nabi).

Ketiga, pada masa Utsman, mushaf yang disimpan oleh Hafsah itu dipinjam dan disalin lagi ke dalam beberapa mushaf. Dengan demikian, penduplikatan mushaf Al-Qur’an tetap mengacu pada mushaf yang pertama/asli.

Keempat, pada masa berikutnya mulai ada usaha untuk melengkapinya dengan tanda-tanda baca atau yang lainnya, untuk menghindari kerancuan dan mempermudah bagi orang-orang Islam yang berada di seluruh dunia dalam membaca dan mempelajarinya. Tanda-tanda baca dan lainnya itu pun tidak menyimpang dari aslinya, sebagaimana pada masa Nabi Muhammad SAW.

Demikianlah komentar dari kami mengenai substansi kajian mengenai keaslian Al-Qur’an yang sebagai mana tercantum di depan. Semoga kita dijadikan oleh Allah termasuk hamba-hambanya yang mau membaca, meyakini, mengamalkan isinya, dan mengajarkan Al-Qur’an yang kita tetap yakini sebagai kitab suci umat Islam dan yang masih tetap terjaga kemurnian dan keasliannya (orisinil). Sehingga Al-Qur’an tidak hanya sekedar menjadi bacaan saja tetapi juga menjadi bahan ajaran bagi kita khususnya umat Islam.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Al-Qur’an secara bahasa merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro’a yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna, Jamak (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro’a, Qor’an, Wa Qur’anan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro, Ghafran, Wa Qhufroonan. Berdasarkan makna pertama (Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’ul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Jamak) maka ia adalah mashdar dari Ism Fa’il, artinya Jaami (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.

Secara Syariat (Terminologi) adalah kalamullah yang tiada tandingannya(mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para nabi dan Rasul dengan perantaraan malaikat JIbril alaihi salam, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nass, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh banyak orang), serta yang mempelajarinya merupakan suatu ibadah.

Al-Qur’an bukan sembarang kitab. Dia adalah kalamullah yang bisa di buktikan baik secara isinnya, ilmiah, maupun secara historis. Tak ada sesuatupun yang bisa menandinginya baik sejak zaman rosululloh sampai sekarang. Bahkan kebenarannya semakin terbukti seiring dengan berjalannya waktu.

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Adhim Ar-rizqoni, Muhammad, 1971. Manahilul ‘Irfan. Libanon: Darul Fikr

Abdullah, Muhammad Husain. 1991. Dirasah Fil Fikril Islami. Beirut: Darul Bayariq

Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad. 1998. Studi Ilmu Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia

Al-ghazali, Muhammad, 1997. Berdialog dengan Al-Qur’an. Bandung: Mizan

Bin Ibrahim al-Fauzan, Abd. Rohman, 2003. Al-arobi baina Yadaik III. Riyad: Al-Mamlakah Al-arobiyah assu’udiyah

Amin suma, Muhammad, 2000. Studi Ilmu Al-Qur’an I. Jakarta: Pustaka Firdaus

Az-zahili, Wahab Mustofa. 1993. Al-Qur’an al-Karim, Bunaituhuttasyri’iyah wa Khosoisuhu al-khadhoriyah. Damaskus: Darul Fikr

Halimudin, 1993. Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an I (terj). Jakarta: PT. Rineka Cipta

Muhaimin. 2005. Kawasan dan Wawasan studi Al-Qur’an. Jakarta: Prenada Media

Nasution, Harun, 1991. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintan

Ridho, Rasyid, 1976. Al-Mufassir. Baghdad: Darul Ar-risalah Lil-thoba’ah

Shihab, M. Quraish, 1994. Lentera Hati. Bandung: Mizan Media Utam

Shihab, M. Quraish, 1995. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Media Utama

Shihab, M. Quraish, 2004. Mukjizat Al-Qur’an. Bandung: Mizan Media Utama


[1] .Abdurrahman bin Ibrahim al-fausan, 2003. Arabiyah baina yadaik, Riyadh: UIN pres. hlm.3.

[2] .Rasyid rido,1976. Al-mufasir,Bagdad: daarun arrisalah littobaah. hlm.1.

[3] .M. Abd. Adhim Azzarqoni. Manahilul ‘Irfan, Libanon: Darul Fikr. hlm. 12.

[4] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 1998, studi ilmu al-quran, bandung: pustaka setia. Hal. 15

[5] . Muhammad Husain Abdullah. 1991. Dirasah Fil Fikril Islami. Beirut: Darul Bayariq

[6] .Prof.Dr. Muhaimin. MA, 2005. Kawasan dan Wawasan studi islam, Jakarta:Prenada Media. Hlm.89.

[7] .M. Quraish Shihab, 1994. Lentera Hati, Jakarta: Mizan. Hlm. 28.

[8] . Maksudnya: Rumawi timur yang berpusat di Konstantinopel.

Maksudnya: terdekat ke negeri Arab yaitu Syria dan Palestina sewaktu menjadi jajahan kerajaan Rumawi Timur.

bangsa Rumawi adalah satu bangsa yang beragama Nasrani yang mempunyai Kitab Suci sedang bangsa Persia adalah beragama Majusi, menyembah api dan berhala (musyrik). kedua bangsa itu saling perang memerangi. ketika tersiar berita kekalahan bangsa Rumawi oleh bangsa Persia, Maka kaum musyrik Mekah menyambutnya dengan gembira Karena berpihak kepada orang musyrikin Persia. sedang kaum muslimin berduka cita karenanya. Kemudian turunlah ayat Ini dan ayat yang berikutnya menerangkan bahwa bangsa Rumawi sesudah kalah itu akan mendapat kemenangan dalam masa beberapa tahun saja. hal itu benar-benar terjadi. beberapa tahun sesudah itu menanglah bangsa Rumawi dan kalahlah bangsa Persia. dengan kejadian yang demikian nyatalah kebenaran nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan Rasul dan kebenaran Al Quran sebagai firman Allah.

ialah antara tiga sampai sembilan tahun. waktu antara kekalahan bangsa Rumawi (tahun 614-615) dengan kemenangannya (tahun 622 M.) bangsa Rumawi adalah kira-kira tujuh tahun.

[9] . M. Quraish Shihab. Ibid., hlm. 28-30.

[10] . Ibid., hlm. 29.

[11] . M. Quraish shihab,1995. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan. hlm. 23.

[12] .Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘ulum Al-Qur’an, Riyadh: Maktabah Ma’arif,1981, hlm. 145-148.

[13] .Prof. Dr. Muhaimin, MA. Op.cit.,hlm 96.

[14] . Manna’ khalil al-qaththan, Ibid., hlm145-148.

[15] .Prof. Dr. Muhaimin, MA. Ibid., hlm. 98.

Tinggalkan komentar